[Bati?]

[BATI?]

Oleh : Luthfi, Bachtiar

Sembari memainkan bibir, duduk berposisi badan condong ke depan, dengan menumpukan setengah badan pada siku yang menumpu lutut. Posisi itu selalu aku lakukan jika sedang menunggunya. Hanya padanya, Rani. Selain dirinya adalah biasa-biasa saja. Dia sedang bersiap karena aku datang. Datang dengan sejumput rindu, dan bukan merupakan sebuah kenangan. Baik pahit ataupun legit.

Tidak ada salahnya jika aku alihkan sejenak perhatianku pada lukisan wanita berpakaian kebaya, selimut sutra melingkar dibahunya, sedang memandang rona matahari. Tidak tahu, itu matahari fajar atau senja. Tapi, yang menjadi pertanyaanku adalah siapa obyek utama dalam lukisan tersebut. Karena, sang wanita berkemben itu dipoles dengan 135dari arah depan. Begitu mempesona.

Lagi, aku perhatikan lukisan. Sekelompok kuda sedag berlari. Kira-kira berjumlah tujuh ekor. Yang menarik perhatianku dari lukisan itu adalah warna. Hanya ada warna hitam dan putih. Dan hanya seekor yang berwarna putih. Aku yakin, lukisan itu mempuyai nilai filosofis tersendiri. Mungki lukisan itu merupakan kritik sosial kini atau nanti.

Satu lagi, kali ini lukisan dengan rupa pak petani sedang menunggangi induk kerbau yang diikuti oleh tiga anaknya. Ditangan pak petani, tergenggam potongan-potongan batang pohon singkong yang sudah mulai terlihat tunas daun dan akarnya. Entah potongan-potongan itu akan dibawa kemana. Mungkin ke sawah, dan akan ditanam bersebelahan dengan tanaman lain, bisa juga potongan-potongan itu akan dibawa ke rumah, lalu akan ditanam di samping rumah. Belum jelas memang, tujuan pak petani itu akan kemana.

Jika aku perhatikan, lukisan-lukisan itu dipasang dalam tembok yang mempunyai arah berbeda. Sebagai seorang seniman kawakan, pasti tidak sembarangan dalam memasang, membeli atau bahkan membuat lukisan-laukisan itu. Jika tidak, maka semua itu adalah sampah-sampah pajangan yang bernominal “nol.” Ayahnya seorang seniman. Dan itu adalah sebuah tantangan bagiku untuk memilikinya. Wanodya semata wayangnya.

Pastilah sangat berarti, wanodya semata wayangnya itu. Apa lagi dua tahun lalu mereka telah ditinggalkan oleh wanita yang menjadi langit mereka, wanita yang melayani hidup mereka. Dan bukan merupakan pembantu. Tapi penapak surga mereka. Itu masa yang biru, bukan biru baru dan harus berlalu.

Pandangan dan badan, aku alihkan ke depan rumah. Jejeran tanaman waribang berbentuk bulat, oval bahkan ada yang menyerupai bentuk hewan seperti gajah dan burung. Dikombinasikan dengan bermacam-macam bunga pesona, menghiasi tatanan taman depan rumah. Apa lagi dengan dialasi hijaunya rumpu Jepang, sungguh ini adalah percikan surga. Likuan jalan setapak yang menghantarkan siapa saja pada sebuah gubuk panggung kecil berbentuk segi enam dengan panjang dua meter disetiap sisinya, akan iri jika tidak aku perhatikan.

***

Dua puluh delapan minggu lalu, aku mengejutkanmu dengan kehilanganku beberapa hari, mendekati minggu. Aku lakukan, karena hari itu adalah hari ulang tahunmu. Kamu memarahiku akan hal itu. Lalu aku membalasnya dengan tertawa lirih.

Tetapi semua sirna setelah aku jelaskan dan aku hadiahkan sebuah jam tangan warna putih kesukaanmu beserta baju [bati?]1 dengan motif mawar disekujur bahan. Kamu memeluk tubuhku dengan erat, dan “Terima kasih.” Dua kata yang kamu ujarkan disamping telinga kananku saat pelukan itu.

Selanjutnya, kita makan bersama pada tempat yang sudah biasa kita singgahi.

***

            Tujuh belas minggu lalu, sebelum kamu tersungkur tanpa rasa sadar di lantai putih, kamu memaksakan diri dalam tubuhmu yang rapuh, tanpa memperdulikan ujaranku yang begitu tulus. Berjalan kaki,  menuju sesuatu yang tidak harus kamu tuju dahulu. Semua orang akan menyalahkanku, dan itu nyata. Temanmu, orang tuamu dan orang sekelilingmu, semuanya menyalahkanku.

Aku hanya diam tertunduk lesu. Meratapi kesalahanku yang tidak mampu menanggulangi ketersungkuranmu itu. Aku menyesal dan aku akui aku salah. Dalam baringanmu, aku genggam kedua telapak tanganmu, aku usap, berharap kamu sadar.

“Hanya perlu istirahat. Dan semuanya akan kembali seperti semula, sesuai dengan harapan.” Begitu kata dokter.

Aku berharap, saat kamu membuka matamu, akulah orang pertama yang kamu lihat. Tapi itu berbanding terbalik dengan kenyataan, ketika sejenak aku keluar untuk keperluan, bertemu dengan seseorang. Penyesalanku bertambah ketika keperluan itu tidak membuahan hasil, karena orang yang akan aku temui itu tidak hadir.

Satu minggu setelah ketersungkuran itu, aku mengajakmu melihat pantai. Dibawah pohon cemara. Kita saling bersandar dalam kenikmatan kasih sayang. Maksud hati membalas kesalahanku atas ketersungkranmu itu. Sedikit kekecewaanku, kamu belum memakai baju [bati?] pemberianku. Dan jika aku utarakan, suasana akan berubah.

***

            Delapan minggu lalu, aku diminta oleh ayahmu untuk menemanimu dalam acara pernikahan temanmu. Tentu saja aku terima permintaan itu. Selain merupakan amanat, juga merupakan hal yang aku sukai. Karena dapat bersamamu. Dengan permintaan seperti itu, menandakan orang tuamu sedikit banyak percaya padaku akan ketertanggung jawabanku.

Sampai ditjuan, aku hanya duduk bersama orang-orang tua di kursi depan. Dan kamu bersuka ria dalam tawa rindu setelah kurang lebih tiga tahun tidak bertemu. bukan hanya dengan temanmu yang duduk dalam pelaminan, tetapi kamu juga bertemu dengan teman-teman lain yang sudah lama tidak bertatap muka. Lagi, kamu tidak memakai baju [bati?] pemberianku kala hari spesialmu. Sedikit kecewa memang.

***

            Empat minggu lalu. Adalah hari ulang tahun teman dekatmu. Sudah barang tentu kamu harus datang dalam acara tersebut. Dan aku adalah orang yang harus mengantarmu. Apalagi acara tersebut berlangsung diwaktu malam hari. Selain ayahmu, orang lain yang menghawatirkanmu adalah aku. Ditambah dengan imun tubuhmu yang rapuh.

Tidak ingin, baik temanmu, orang sekitarmu terutama ayahmu jika terjadi suatu kejadian yang tidak diharapkan pada kamu. Acara yang berlangsung kurang lebih selama tiga jam, mulai pukul 19.00 ahirnya selasai juga, meski masih berlangsung hingga saat ini. Lumayan lama memang, dan aku hanya duduk pada kursi teras yang ditemani oleh pak satpam. Lagi, untuk kali ketiga, kamu tidak memakai [bati?] yang aku berikan dengan rasa tulus pada hari spesialmu.

***

            Sekarang, 15 Juli. Dan tiga hari lagi adalah hari ulan tahun ayahmu. Menyandang predikat keluarga bahagia, adalah adat keharusan untuk melaksanakan hal semacam ini. Memberikan sesuatu yang didambakan oleh ayahnya.

Satu jam aku sudah menunggu dengan tinggkah yang demikian aku lakukan. Aku dengar suara halus merdu. Tidak salah lagi, itu adalah suaranya. Semerbak wangi tubuhnya hinggap dan masuk dalam jiwaku.

Dia tersenyum padaku, manis sekali. Rambut legamnya akan jatuh satu persatu jika telah tertiup angin merdu. Mata yang lentik, membuatku tak sanggup untuk menatapnya terlalu lama. “Mempesona.”

Tuhan, betapa indah mahlukMu yang satu ini. Beruntung sekali aku bia memilikinya, meski baru “sepenggal jalan”.

Satu lagi harapan yang aku inginkan. Dia memakai baju [bati?] yang sudah aku nanti selama kurang lebih dua puluh delapan minggu terakhir ini.

***

            “Bagai mana, sudah siap?.” Ujar wanodya Lolita bersandang batik motif mawar disekujur bahan.

 

Catatan : [bati?] merupakan penulisan secara fonologis (dialek Jawa wilayah timur). Jika ditulis secara ortografis adalah /batik/ atau batik.

 

 

 

 

 

 

 

 

Pos Berikutnya
Tinggalkan komentar

Tinggalkan komentar